MEMPERERAT TALI SILATURAHMI, MENINGKATKAN POTENSI DIRI DAN MERAIH PRESTASI

Jumat, 14 Januari 2011

Harmoni
“Hati dan Ilmu”

“ Orang yang benar butuh permulaan yang benar, permulaan yang benar butuh keikhlasan dan keikhlasan itu ada pada niatan yang suci, sementara kesucian niat ada pada hati yang bersih.”
(kalam hikmah)

         Ibarat orang yang berazam ingin ke Surabaya, tentu ia hanya akan sampai ke tujuan kalau sedari awal ia naik bus jurusan Surabaya. Adapun kalau yang ia pilih adalah bus jurusan Jakarta, tentu sampai kapanpun ia tak ’kan sampai ke tujuan.
Pohon mangga hanya akan tumbuh dari biji mangga, dan biji salak pastilah akan menumbuhkan pohon yang sama. Tidak akan mungkin pohon mangga membuahkan pohon salak, begitu pula sebaliknya.
         Demikian itu karena sebuah kebenaran dalam bentuk apapun, hanya akan tumbuh dari biji kebenaran. Bagaimana mungkin pohon kebenaran bisa tumbuh berkembang dari sebuah biji bernama kesalahan dan bagaimana “pohon” kebenaran ini bisa tumbuh dengan baik pada diri seseorang? Kalam hikmah diatas mengatakan; “butuh  keikhlasan !”
         Keikhlasan adalah saudara kembar kebenaran, keduanya lahir dari rahim yang sama, pada waktu yang bersamaan; dimana ada kebenaran disitu ada keikhlasan, begitu pula sebaliknya. Antara keduanya tidak bisa dipisahkan oleh apapun dan siapapun. Kebenaran tanpa keikhlasan adalah fatamorgana, dan keikhlasan tanpa kebenaran adalah utopia, bahkan tipu daya. Keikhlasan adalah teman perjalanan kebenaran. Selamanya kita tidak pernah menjumpai kebenaran berjalan sendirian tanpa ditemani sang “kekasih” tercinta bernama keikhlasan.
      Seandainya kita membiarkan kebenaran yang ada pada diri kita tumbuh sendirian, maka pastilah ia akan menjadi kebenaran yang kering, bahkan mati, yang tidak bisa memberikan manfaat sedikit pun untuk kita, bahkan keberadaannya akan menjadi beban berat, yang membuat perjalanan hidup ini semakin tertatih-tatih.
      Tidak demikian halnya bila keihklasan ikut menyertai; kebenaran akan memancarkan “keceriaan” hakiki, yang dirasaakan tidak hanya oleh si-empunya kebenaran, tapi juga oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Kebenaran akan berubah menjadi embun penyejuk yang akan menetesbasahi setiap diri yang kerontang dalam keringnya jiwa. Lantas, dari manakah kita akan memperoleh keikhlasan ini? Jawabnya adalah dari niat yang suci.
      Niat adalah kesengajaan melakukan amal dan “suci” tiada lain adalah Allah, karena di alam semesta ini tidak ada yang “suci” dalam arti yang hakiki kecuali Dia Rabbul ‘Izati. Subahanallah. Maha Suci Engkau ya Allah. Niat suci akan dimiliki manakala kita menyengaja melakukan amal semata-mata karena ingin memperoleh ridha Allah Yang Maha Suci, lepas sama sekali dari tujuan dan harapan sesaat, yaitu kesengan duniawi. Lantas, dimana kita bisa menemukan kesucian niat ini?
Kesucian niat bisa kita temukan di sela-sela sebongkah daging bernama "hati", dengan catatan jenis hati tersebut adalah hati yang benar-benar bersih dari berbagai kotoran. 
      Dari yang bersih akan tumbuh niat-niat yang suci lagi bersih, yang mendorong kita beramal dengan ikhlas semata-mata karena Allah. Saat keikhlasan ini bertemu dengan kebenaran, maka akan lahirlah sosok manusia baru dalam diri kita, yakni manusia yang seluruh lintasan pikiran, perasaan, keinginan, kata dan perbuatannya menyatu dalam satu senyawa, senyawa kebenaran.
     Kalam hikmah diatas menyimpulkan dan mengajak kepada kita, bahwa cita-cita menjadi orang yang benar itu harus diawali dengan memiliki hati yang bersih.
Tapi, cukupkah dengan hati yang bersih?
     Tentu belum, gambarannya seperti ketika kita haus, kemudian ada orang yang memberikan sebuah gelas yang sangat bersih kepada kita, akan tetapi di dalam gelas bersih tersebut tak terdapat air bersih setetes pun.
      Apa artinya gelas bersih tanpa isi bagi orang yang haus?! Tetap saja ia kehausan.
Berarti kita harus mengisi “air” kedalam “gelas” hati kita ? Ya, air kehidupan, yaitu ilmu pengetahuan.
     Hati bersih tanpa ilmu adalah gelas bersih tanpa isi. Tapi ilmu yang berada di hati yang kotor adalah air yang dituangkan ke dalam gelas kotor. Keduanya tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun di saat kita kehausan.
     Lantas, mana yang harus kita dahulukan ? membersihkan hati terlebih dahulu atau mengisinya? Ibarat  gelas kotor yang ingin kita isi air, tentu kita harus membersihkannya terlebih dahulu, kemudian mengisinya dengan air.
         Allah Ta’ala  berfirman: “ Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan (hati) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
( Al Jumu’ah: 2)
         Jadi, ketika seseorang membiarkan dirinya di sirami air ilmu pengetahuan, dalam keadaan gelas hatinya dipenuhi  kotoran, maka yang akan timbul dari  dirinya adalah satu di antara lima kemungkinan:
Kemungkinan I: seperti gelas terbalik.
Gelas terbalik ketika diisi air, maka tumpah tak terarah.
Siapakah kelompok pertama ini? 
Ada dua kemungkinan:
1. orang-orang kafir, sebab sekotor-kotor hati adalah orang kafir,(
2. orang Islam tapi phobia terhadap Islam, mereka menolak, bahkan membenci apa saja yang berbau Islam.
Kemungkinan II: seperti gelas tertutup.
Gelas tertutup adalah gelas yang ketika kita tuangkan air, ia tidak bisa menampung air tersebut.
Siapakah mereka?
       Mereka adalah orang-orang yang sok tahu. Kesimpulan sok tahu ini terjadi karena mereka merasa hidup di tengah-tengah   orang alim, lingkungan mereka adalah ilmu pengetahuan, bergaul dengan ahli ilmu, namun kenyataannya tak ada setetes-pun ilmu yang membasahi kerongkongan hatinya. Mereka mencukupkan bahkan membanggakan diri dengan berteman bersama orang alim, mengoleksi buku-buku tentang ilmu tapi tidak mempelajarinya.
Kemungkinan III: seperti gelas terbuka tapi bocor.
Maka air tersebut akan tumpah kemana-mana.
Siapakah mereka?
       Mereka adalah orang yang mengaku-ngaku tahu. Mereka bersikap demikian karena mereka merasa bahwa mereka betul-betul sudah mengaji dan mengkaji ilmu. Namun ilmu tersebut satu tetespun tidak ada yang tertampung. Mengapa demikian? Bisa jadi mereka salah motivasi, salah niat. Mengaji  dan mengkaji dengan tujuan hanya sekedar pujian dan popularitas.
         Mereka semangat mengaji dan mengkaji ilmu hanya untuk memenuhi kepuasan telinganya semata. Mereka mengisi telinganya dengan berbagai ilmu pengetahuan, sementara hatinya dibiarkan berlobang  dan membusuk karena kotoran-kotoran maksiat dan dosa. Akibatnya bertahun-tahun mengaji tidak ada hasil yang bisa di jumpai, baik dalam bentuk ziyadatu'l ‘ilmi (bertambahnya ilmu) ataupun taghyiru'l 'amal (berubahnya amal ke arah yang lebih baik).
Kemungkinan IV: seperti gelas yang sudah terpenuhi air.
Seandainya ke dalam gelas tersebut kita tuangkan air, maka air itu akan melimpah-ruah tak terarah.
Siapakah mereka?
         Mereka adalah orang-orang yang memang benar-benar memilki  ilmu pengetahuan yang mendalam dan melimpah, namun sayang, ilmu yang banyak tersebut membuat mereka jadi sombong. Akibatnya mereka cenderung menolak ilmu yang diberikan orang lain bahkan meremehkannya.
Kemungkinan V: seperti  gelas kosong yang diisi air.
Gelas  seperti ini awalnya akan bisa menampung air yang dituangkan ke dalamnya, namun lama kelamaan air tersebut pastilah akan memenuhi gelas. Seandainya air tetap dituangkan maka akibatnya sama persis seperti gelas ke empat di atas.
          Demikianlah lima kemungkinan yang terjadi ketika seorang mengaji dan mengkaji ilmu, namun membiarkan hatinya dalam keadaan kotor. Selamanya ilmu yang dimilikinya tidak akan membuahkan amal, perubahan, kebaikan juga kemanfaatan.
Na’udzu billah min dzalik.
           Ya Allah lindungi kami dari segala sesuatu yang mengotori hati. Cegahlah kami dari ilmu-ilmu yang hanya menjadi beban bagi kami. Jadikan setiap ilmu yang kami miliki membuat kami semakin mengenal-Mu, mencintai-Mu dan mentaati-Mu.

Wallahu a'lam bi al-showab.


By:
Kusnadi el-Maghriby

       








;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar