MEMPERERAT TALI SILATURAHMI, MENINGKATKAN POTENSI DIRI DAN MERAIH PRESTASI

Senin, 17 Januari 2011

Problematika dan Human Error

Al-quran telah menjelaskan kelebihan dan kesempurnaan manusia, bahkan kekurangan manusia yang lebih hina dari hewan. Manusia memiliki beberapa potensi besar untuk mengembangkan dirinya sendiri menjadi khalifah di muka bumi ini, tetapi pertanyaan mendasar yaitu apa manusia itu?Dan apa problematika  jiwanya?
Mahmud Abbas Al-Uqqad dalam Almajmû’ah al-kâmilahnya jilid 5 hlm. 80 menyebutkan bahwa manusia adalah hewan yang berbicara, hewan madani dengan tabiatnya, roh tinggi  yang jatuh ke bumi dari langit, hewan yang luhur. Definisi tersebut menurutnya diantara definisi-definis yang masyhur dan universal karena universal dari segi keistimewaan akalnya, universal dari segi hubungannya dengan sosial, melihat definisi manusia dengan sifat ini kepada kisah kesalahan yang terjadi pada Adam ketika memakan dari sebagian pohon pengetahuan sebab disesatkan oleh syaitan, melihat kepada runtutan manusia di antara macam-macam hidup menurut madzhab perkembangan (madzhab al-tathawwur). Tetapi dalam coretan ini tidak akan di paparkan pendapat para pemikir  tentang manusia melalui buku-bukunya yang diterjemahkan dalam bahasa arab seperti buku
 (ستاس) مصير الإنسان الغربي, (دونوي) ألضمير الإنساني, (نيقولا بردياتيق) مصير الإنسان, (أندريه مالروم) قدر الإنسان  dan lain- lain.
Unsur yang terkandung dalam manusia ada dua, membangun dan merusak, kedua unsur ini pasti terjadi dalam diri manusia disadari ataupun tidak. Manusia berakal sehat tidak akan membuat dirinya rusak bahkan binasa dari muka bumi ini, oleh karena itu, problematika jiwa manusia yang mendasar berasal dari diri sendiri, baik dalam merespon sebuah kehidupan pribadi maupun hubungan kehidupan pribadi dengan orang lain. Karena sepintar apapun seseorang, maka tidak akan terlepas dari problematika hidup, sehingga dalam dirinya mempunyai beberapa pengalaman berharga yang bisa dijadikan acuan atau nilai tersendiri untuk menghadapi kehidupan berikutnya. Penulis yakin setiap orang mempunyai jawaban masing-masing dari pertanyaan kedua, oleh karena itu, perlu dikemukakan secara global jawabannya melalui coretan ini yang membuat pembaca mengerutkan kening untuk memahami makna dari problematika yang dituangkan secara global, diantara problematika jiwa manusia yaitu ketakutannya menghadapi kematian dan terpisah dari dunia serta orang-orang tercinta, merasa sia-sia dan tidak ada dari manifestasi hidup, merasa terisolasi di muka bumi, kelemahan manusia untuk menghadapi suka dan duka, takut lapar dan hilangnya rizki, was-was yang mengguncang jiwa manusia, iri dan dengki yang mengakibatkan permusuhan dan perpecahan, gelisah jiwa dan pengaruh-pengaruhnya yang merusak, egoisme,sombong dan mengikuti kedzaliman dan tindak kesewenang-wenangan, sifat ingkar dan perpecahan manusia, putus asa dan patah semangat, hilangnya kejujuran dan keikhlasan, terburu-buru dan tidak sabar.
Setiap manusia mempunyai maindset sendiri dalam menghadapi problematika melalui sifat, konsep dan tataran aplikatif masing-masing, senantiasa bergumul dan berinteraksi demi terciptanya masyarakat yang berpotensi dan melangkah  lebih maju dalam strata kehidupannya. Disinilah manusia tertantang untuk memahami hidup sebaik-baiknya. Good luck!!!

(Tidak ada istilah gagal, yang ada adalah belajar. Kalau kita tidak mendapat pelajaran dari kegagalan itulah kegagalan yang sesungguhnya)

from: http://cevheriirhas.blogspot.com/

Jumat, 14 Januari 2011

Harmoni
“Hati dan Ilmu”

“ Orang yang benar butuh permulaan yang benar, permulaan yang benar butuh keikhlasan dan keikhlasan itu ada pada niatan yang suci, sementara kesucian niat ada pada hati yang bersih.”
(kalam hikmah)

         Ibarat orang yang berazam ingin ke Surabaya, tentu ia hanya akan sampai ke tujuan kalau sedari awal ia naik bus jurusan Surabaya. Adapun kalau yang ia pilih adalah bus jurusan Jakarta, tentu sampai kapanpun ia tak ’kan sampai ke tujuan.
Pohon mangga hanya akan tumbuh dari biji mangga, dan biji salak pastilah akan menumbuhkan pohon yang sama. Tidak akan mungkin pohon mangga membuahkan pohon salak, begitu pula sebaliknya.
         Demikian itu karena sebuah kebenaran dalam bentuk apapun, hanya akan tumbuh dari biji kebenaran. Bagaimana mungkin pohon kebenaran bisa tumbuh berkembang dari sebuah biji bernama kesalahan dan bagaimana “pohon” kebenaran ini bisa tumbuh dengan baik pada diri seseorang? Kalam hikmah diatas mengatakan; “butuh  keikhlasan !”
         Keikhlasan adalah saudara kembar kebenaran, keduanya lahir dari rahim yang sama, pada waktu yang bersamaan; dimana ada kebenaran disitu ada keikhlasan, begitu pula sebaliknya. Antara keduanya tidak bisa dipisahkan oleh apapun dan siapapun. Kebenaran tanpa keikhlasan adalah fatamorgana, dan keikhlasan tanpa kebenaran adalah utopia, bahkan tipu daya. Keikhlasan adalah teman perjalanan kebenaran. Selamanya kita tidak pernah menjumpai kebenaran berjalan sendirian tanpa ditemani sang “kekasih” tercinta bernama keikhlasan.
      Seandainya kita membiarkan kebenaran yang ada pada diri kita tumbuh sendirian, maka pastilah ia akan menjadi kebenaran yang kering, bahkan mati, yang tidak bisa memberikan manfaat sedikit pun untuk kita, bahkan keberadaannya akan menjadi beban berat, yang membuat perjalanan hidup ini semakin tertatih-tatih.
      Tidak demikian halnya bila keihklasan ikut menyertai; kebenaran akan memancarkan “keceriaan” hakiki, yang dirasaakan tidak hanya oleh si-empunya kebenaran, tapi juga oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Kebenaran akan berubah menjadi embun penyejuk yang akan menetesbasahi setiap diri yang kerontang dalam keringnya jiwa. Lantas, dari manakah kita akan memperoleh keikhlasan ini? Jawabnya adalah dari niat yang suci.
      Niat adalah kesengajaan melakukan amal dan “suci” tiada lain adalah Allah, karena di alam semesta ini tidak ada yang “suci” dalam arti yang hakiki kecuali Dia Rabbul ‘Izati. Subahanallah. Maha Suci Engkau ya Allah. Niat suci akan dimiliki manakala kita menyengaja melakukan amal semata-mata karena ingin memperoleh ridha Allah Yang Maha Suci, lepas sama sekali dari tujuan dan harapan sesaat, yaitu kesengan duniawi. Lantas, dimana kita bisa menemukan kesucian niat ini?
Kesucian niat bisa kita temukan di sela-sela sebongkah daging bernama "hati", dengan catatan jenis hati tersebut adalah hati yang benar-benar bersih dari berbagai kotoran. 
      Dari yang bersih akan tumbuh niat-niat yang suci lagi bersih, yang mendorong kita beramal dengan ikhlas semata-mata karena Allah. Saat keikhlasan ini bertemu dengan kebenaran, maka akan lahirlah sosok manusia baru dalam diri kita, yakni manusia yang seluruh lintasan pikiran, perasaan, keinginan, kata dan perbuatannya menyatu dalam satu senyawa, senyawa kebenaran.
     Kalam hikmah diatas menyimpulkan dan mengajak kepada kita, bahwa cita-cita menjadi orang yang benar itu harus diawali dengan memiliki hati yang bersih.
Tapi, cukupkah dengan hati yang bersih?
     Tentu belum, gambarannya seperti ketika kita haus, kemudian ada orang yang memberikan sebuah gelas yang sangat bersih kepada kita, akan tetapi di dalam gelas bersih tersebut tak terdapat air bersih setetes pun.
      Apa artinya gelas bersih tanpa isi bagi orang yang haus?! Tetap saja ia kehausan.
Berarti kita harus mengisi “air” kedalam “gelas” hati kita ? Ya, air kehidupan, yaitu ilmu pengetahuan.
     Hati bersih tanpa ilmu adalah gelas bersih tanpa isi. Tapi ilmu yang berada di hati yang kotor adalah air yang dituangkan ke dalam gelas kotor. Keduanya tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun di saat kita kehausan.
     Lantas, mana yang harus kita dahulukan ? membersihkan hati terlebih dahulu atau mengisinya? Ibarat  gelas kotor yang ingin kita isi air, tentu kita harus membersihkannya terlebih dahulu, kemudian mengisinya dengan air.
         Allah Ta’ala  berfirman: “ Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan (hati) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
( Al Jumu’ah: 2)
         Jadi, ketika seseorang membiarkan dirinya di sirami air ilmu pengetahuan, dalam keadaan gelas hatinya dipenuhi  kotoran, maka yang akan timbul dari  dirinya adalah satu di antara lima kemungkinan:
Kemungkinan I: seperti gelas terbalik.
Gelas terbalik ketika diisi air, maka tumpah tak terarah.
Siapakah kelompok pertama ini? 
Ada dua kemungkinan:
1. orang-orang kafir, sebab sekotor-kotor hati adalah orang kafir,(
2. orang Islam tapi phobia terhadap Islam, mereka menolak, bahkan membenci apa saja yang berbau Islam.
Kemungkinan II: seperti gelas tertutup.
Gelas tertutup adalah gelas yang ketika kita tuangkan air, ia tidak bisa menampung air tersebut.
Siapakah mereka?
       Mereka adalah orang-orang yang sok tahu. Kesimpulan sok tahu ini terjadi karena mereka merasa hidup di tengah-tengah   orang alim, lingkungan mereka adalah ilmu pengetahuan, bergaul dengan ahli ilmu, namun kenyataannya tak ada setetes-pun ilmu yang membasahi kerongkongan hatinya. Mereka mencukupkan bahkan membanggakan diri dengan berteman bersama orang alim, mengoleksi buku-buku tentang ilmu tapi tidak mempelajarinya.
Kemungkinan III: seperti gelas terbuka tapi bocor.
Maka air tersebut akan tumpah kemana-mana.
Siapakah mereka?
       Mereka adalah orang yang mengaku-ngaku tahu. Mereka bersikap demikian karena mereka merasa bahwa mereka betul-betul sudah mengaji dan mengkaji ilmu. Namun ilmu tersebut satu tetespun tidak ada yang tertampung. Mengapa demikian? Bisa jadi mereka salah motivasi, salah niat. Mengaji  dan mengkaji dengan tujuan hanya sekedar pujian dan popularitas.
         Mereka semangat mengaji dan mengkaji ilmu hanya untuk memenuhi kepuasan telinganya semata. Mereka mengisi telinganya dengan berbagai ilmu pengetahuan, sementara hatinya dibiarkan berlobang  dan membusuk karena kotoran-kotoran maksiat dan dosa. Akibatnya bertahun-tahun mengaji tidak ada hasil yang bisa di jumpai, baik dalam bentuk ziyadatu'l ‘ilmi (bertambahnya ilmu) ataupun taghyiru'l 'amal (berubahnya amal ke arah yang lebih baik).
Kemungkinan IV: seperti gelas yang sudah terpenuhi air.
Seandainya ke dalam gelas tersebut kita tuangkan air, maka air itu akan melimpah-ruah tak terarah.
Siapakah mereka?
         Mereka adalah orang-orang yang memang benar-benar memilki  ilmu pengetahuan yang mendalam dan melimpah, namun sayang, ilmu yang banyak tersebut membuat mereka jadi sombong. Akibatnya mereka cenderung menolak ilmu yang diberikan orang lain bahkan meremehkannya.
Kemungkinan V: seperti  gelas kosong yang diisi air.
Gelas  seperti ini awalnya akan bisa menampung air yang dituangkan ke dalamnya, namun lama kelamaan air tersebut pastilah akan memenuhi gelas. Seandainya air tetap dituangkan maka akibatnya sama persis seperti gelas ke empat di atas.
          Demikianlah lima kemungkinan yang terjadi ketika seorang mengaji dan mengkaji ilmu, namun membiarkan hatinya dalam keadaan kotor. Selamanya ilmu yang dimilikinya tidak akan membuahkan amal, perubahan, kebaikan juga kemanfaatan.
Na’udzu billah min dzalik.
           Ya Allah lindungi kami dari segala sesuatu yang mengotori hati. Cegahlah kami dari ilmu-ilmu yang hanya menjadi beban bagi kami. Jadikan setiap ilmu yang kami miliki membuat kami semakin mengenal-Mu, mencintai-Mu dan mentaati-Mu.

Wallahu a'lam bi al-showab.


By:
Kusnadi el-Maghriby

       








;

Kamis, 13 Januari 2011

Being a “Santri” Notes from the Field

NIHAYATUL WAFIROH
University of Hawai'i
AUTHOR BIOGRAPHY
Nihayatul Wafiroh is a M.A. student in the Asian Studies Department at the University of Hawai’i. She is from Indonesia and grew up in an Islamic boarding school (pesantren) community in Banyuwangi in East Java, Indonesia. She spent four years in a pesantren in Tambakberas, Jombang in East Java.

Being a santri was one of the most interesting experiences of my life. A student who studies in a pesantren is called a santri, and a pesantren is an Islamic boarding school—one of the most important educational institutions in Indonesia. Any Muslim student with a strong motivation to study in a pesantren can enroll as a santri. Although pesantren education ranges from elementary to university level, many santri study only for their junior and senior high school years. In the beginning, pesantren only focused on Islamic education, but after the colonial era, pesantren developed a more comprehensive educat ional curriculum. Nowadays, pesantren combine secular and religious education.

I grew up in a pesantren and came to know the culture well. My grandparents were the founders of the largest pesantren in Banyuwangi city, East Java province, Indonesia. Now, my parents have replaced my  grandparents  as the leaders of the pesantren. As a result, I was already familiar with the rules and the daily life of a santri. When I was in junior high school, I studied with santri in my parent’s pesantren. I also  engaged in the school’s activities. Nevertheless, since I am from a founding pesantren family, I broke many rules and was free from punishment. Being the granddaughter of the founder of the pesantren gave me a power that put me in a status above that of my peers. Therefore, when I left my parents to attend senior high,school, I finally felt that I could be a “true santri.” I felt that in the new pesantren I would  have to follow the rules and I would no longer have any power over my peers.

Studying in a pesantren is one of the traditions of my family. Everyone in my family, before marriage, has to go to a pesantren. A pesantren is mainly established by the community for the community, and in many cases the selected Kyai (a headmaster of a pesantren) will use his own funds to establish the school’s facilities. For these reasons, the living cost and tuition in a pesantren is cheaper than at formal schools in Indonesia, and many of the students that attend pesantren are from the middle and lower classes. The name of the pesantren that I studied at for my senior high school years was Al-Fathimiyyah Bahrul Ulum located in Tambakberas, Jombang. This city was in the same province as my hometown, East Java. I studied there for four years from July 1994 to July 1998.

In July  1994, I was taken to Kyai and Nyai by my parents. Generally, when students apply to a pesantren, parents will give their rights as parents to the Kyai and Nyai. Having grown  up in a pesantren and having been a santri, I found  that the Nyai and Kyai were representative of parent figures, yet this relationship caused santri to act out, and the resulting punishments were ineffective. The Kyai has an authority similar to that  of the absolute power of a king. A person becomes a Kyai when the community recognizes that  he has a strong knowledge of the Muslim religion, so it is the community that gives a person the title of a Kyai. The Nyai, the Kyai’s wife, supports the Kyai in maintaining the pesantren, particularly the female students. In many cases, the wife of the Kyai is chosen only for image purposes, not for her capability, but that is not to say that all Nyai fall into that category. 

In the pesantren, the Kyai and Nyai have the same rights  as  parents. They not only teach but also sometimes play matchmaker. The Nyai holds an important role for female santri because she is like a mother to the female santri. The Nyai and Kyai are also assisted by student boards. These boards are selected by the Nyai and Kyai from among the distinguished senior students. There is a board of male  students who serve the Kyai and a board of female students who serve the Nyai. They are the right hands of the Nyai and Kyai. Basically, all rules are arranged by the Kyai and Nyai, and the boards help to maintain these rules. Senior students chosen to be on these boards have to deal with issues in the pesantren such as education, security  and student activities. The boards are divided into many departments and are run very formally. Each member has their specific positions to serve based on his or her responsibilities.In Al-Fathimiyyah, the pesantren I attended, there were many residential buildings, each with various rooms. About 15-20 santri lived together in one room. My room, Al Masyitoh B 1 or GBONE was the largest room in the pesantren, so there were about 45-50 residents.

The residents of this room were from many different provinces and islands in Indonesia. Additionally, half of the residents were studying in the  junior high school, and the rest were in the high school. We did our activities such as sleeping, eating, studying and chatting in that room. Every single resident had three cabinets for clothes, books and shoes. In the pesantren, we believed that a modest life would be the key to gaining sufficient knowledge. Because of this, santri tried to live humbly. For instance, we slept without beds and used only blankets, and we shared everything with each other, even the bathrooms and our pillows.

A pesantren has many strict rules regarding santri activities. Even studying and doing personal activities is arranged by the pesantren student boards. In the early morning at 4 a.m., the bell rings in the pesantren office, and santri wake to prepare for morning prayer in the mosque. After praying, the second bell signals time to read the Qur’an. These activities were always done from early morning until 10:30 p.m. Santri also could  not go  outside the pesantren areas without receiving permission  from the student’s respective pesantren boards and the Kyai or the Nyai. Receiving permission to leave the pesantren was a long process. First, a santri had to take their security book from the pesantren office. Every santri has their own security book. This book  is the record of when the student leaves the pesantren. With their security book, a santri will approach the Kyai or the Nyai and ask for permission. If the Kyai or Nyai allows the santri to leave, she will sign their book and write when they are to return. If the Kyai or Nyai does not give permission, the process is stopped there. Because of these rules, santri can only leave the pesantrenonce every two months. Special consideration is given to students when making family visits. But when students are only leaving the grounds to go to the market place or to town, they will be limited in the length an frequency of trips. Additionally, the controlling of relationships among female and male santri was very strict. Because in the Islamic  doctrine women and men who do not have any blood connections are prohibited from contacting each other, almost all female santri never spoke with male santri, even though sometimes we knew the names of some boys. Breaking any of these many rules meant punishment from the leader of the pesantren or from the board members.

My room, GBONE, was famous for our creativity and for being troublemakers. There was even an informal gang. Those who wanted to be “popular” in the pesantren became members of this gang. Mostly members of this gang were senior santri. Because of their seniority, they served as role models for the junior santri, like me at the time. The leader of the gang’s name  was Karim. She had been in the pesantren since junior high school and knew the school well. Her strongest trait was that she was friendly. For sure, everyone enjoyed chatting with her and she easily attracted people as her followers. In addition, she was a smart and dynamic person, which made her very persuasive. The gang had responsibilities like everyone else, but they did not do them. Everyone in my room knew this, but no one was brave enough to go against them, and everyone tried to be as friendly as possible to  the gang. For example, after morning prayer, all santri must clean their sleeping space and return items to their rightful places or no one would be allowed to sleep that  night. However, the gang would continue sleeping, avoid prayer and avoid reading the Qur’an. No one bothered them, not even the boards of my room. In fact, many of the members of the gang were senior students and were even members of the student board of the building and room.The first time I arrived in the room, I thought that  everyone was equal. In my view, the senior santri should follow the  rules as older sisters would. In fact, I remember the first time I spoke with Karim. She asked me about my family, my boyfriend, and my hobbies. She was so friendly that  I felt as if I had already known her for long time; hence, I could talk about anything with her.

After I became close to her, she often asked me to do activities with her. For a short time, I was one of about ten of her followers, and of them, the only underclassman Becoming one of Karim’s followers changed my status in  the room from a junior santri to a powerful santri. It was prestigious among the students for a junior santri to have such a chance to be friends with Karim. I never really knew why she chose me. In my analysis, perhaps, compared with other junior santri in my room, I was more confident because I was already familiar with pesantren life. Another thing was that the Nyai and Kyai knew me and my family well, since we were all  a part of the same pesantren network. I think that she had expected that she would receive more attention from the Kyai and Nyai if she became my friend. I learned many things from her, especially how to take advantage of my time in the pesantren. She introduced me to new friends and she taught me how to break the pesantren rules without getting caught. Because of her influence, I became braver at breaking the pesantren rules. Running away from my duties (praying, studying, and  doing pesantren activities) was a daily routine.

In the first year, I was only breaking my room rules. By the second year, I took it one step further. I began to contravene the larger pesantren rules. For instance, Karim and I went to her brother’s house outside the pesantren without permission from the Nyai. Another time, Karim asked me to go to a place where she had already made an appointment with her boyfriend. As the lookout, I kept watch outside while she met her boyfriend. I would inform her if there were pesantren board securities near by. Furthermore, she often asked for money from other members of the gang, and sometimes when she saw good things, such as clothes or veils, she strongly recommended that her followers buy them. Then, after we brought them home, she wore them like they were hers. We broke the rules many times, but the pesantren’s security boards did not detect us. However, one day when Karim, Anis (another of Karim’s followers), and I left the pesantren for town, one security board member saw us on the bus. After we returned to the pesantren, Nyaiasked me if I had broken other rules and I confessed to everything we had done in the time I had been in the gang. As a result we were heavily punished: cleaning toilets, reading  the whole Qur’an in a day, giving statements that I would not repeat these activities again in front of the whole mosque, and praying five times a day  behind the prayer leader (imam) for forty days. This was really hard and very embarrassing for us. The hardest punishment was when Nyai said she was disappointed in me. To be honest, I was worried that Nyai would report this case to my parents.

Fortunately, Nyai only advised me, and she promised that she would not inform my parents. Perhaps Nyai did not inform my parents because she wanted to preserve her relationship with them. Since I am the daughter of a family that has a pesantren, it is very prestigious when a pesantren receives a student who is from another pesantren family. Another thing was that Nyaiknew that I was just Karim’s follower, so my behavior would change when outside of Karim’s influence. In many cases, Nyai informed parents when students repeatedly broke the rules, but that did not happen to me. After this case, I promised myself that I would not make trouble again. Then, in the following year, I became a member of the pesantren’s board, serving as one of the higher officers. After these realizations and changes, I was more reluctant to break the rules.

Although Karim was a secretary on the pesantren board, she continued to break the rules. Six months before graduation, Kyai decided to send her back to her family without an honorable graduation. According to pesantren practice, there was nothing that they could do for her any longer. The last punishment from the pesantren boards had not had any influence on her. I recall, one day after we had punishment together, she said, “Nyai is not fair. Why did she not ask me about my reasons for breaking the rules before she punished me? These punishments are really embarrassing. All santri know about our case now.” Karim thought that when one did something, they had their own reasons for their behavior, but Nyainever wanted to know about reasons. I never got to know Karim’s reasons either, and now I wonder about them. Problem solving should be more important than punishment. Karim had said that every single person has their own reasons for bad behavior. If someone made trouble, they might have their own problems. Finding the right solution for the problem should be the best way. In the pesantren, if a santri breaks the rules, it is better for the leaders and their staff to talk with that student about their problems before punishing them. I believe that others cannot stop problem students from doing wrong. They can only stop themselves. Thus, it is not a guarantee that after the punishment is received, the santri will behave well.

The privacy of an individual santri should be respected. Punsihing them in front of the public breaks a santri’s rights as a human being. For me, being embarrassed in front of my friends was harder than doing the punishment. The wrong punishment can cause spite against the leaders and board members, and this is what is happening in the pesantren when “embarrassment” is used as punishment.
During the time that I was breaking rules in the pesantren, I was aware that I was making a mistake. As a junior student, I had been looking for a senior student as a role model and I found that  in Karim. Essentially, the Kyai and  Nyai replaced my parents, but in the pesantren there were about seven hundred santri, and the Kyai and Nyai could not give equal attention to us all. The figure of a parent is important in children’s lives. This figure can also become the person who will guide and accompany a child as they mature. Children  follow and do anything for their idols.

The effect of these figures on children can be good or bad. It is up to the parents and teachers to regulate these relationships. In my case, Karim was my adult figure. She was like a big sister to me. The Nyai and Kyai ought to be like parents, so that  santri will share their problems with them. But, the Nyai and Kyai put their positions much too high above the santri. As a result, santri are not able to act as children with them.
Looking back now, I see that my experiences are lessons to be learned. After I finish my studies, I plan to return to my family’s pesantren and help my family maintain the pesantren. I hope to be able to act as a parent to the students, and also to give them fair punishments.

Senin, 10 Januari 2011

Santri dan Millieu

Kacamata Santri
            Di dalam meneliti seputar lingkungan santri mempunyai keunikan tersendiri tak terkecuali dari aktifitas-aktifitas sehari-harinya yang cenderung kepada pemahaman kitab kuning. Disisi lain juga santri tidak mau kalah dengan orang-orang di luar pondok yang terkesan dengan kebebasannya melakukan dan mengetahui segala apa yang terjadi (dalam hal ilmu pengetahuan). Itu di tuangkan dan di aplikasikan dengan adanya bursa buku, media elektronik serta media cetak lainnya yang mendukung kemajuan dan perubahan dalam diri santri untuk menghadapi era globalisasi ini.
            Benar, apa yang dikatakan oleh Nabi Saw, yaitu memberi pemahaman kepada umat betapa mulia dan agungnya suatu ilmu yang didasari dengan keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Karena secara fitrah manusia, nafsu menginginkan keabadian dan itu tidak akan terealisasi tanpa adanya iman dan ilmu yang manfaat.
            Meneliti latar belakang santri memasuki lingkungan pondok dan menimba ilmu didalamnya memiliki perbedaan yang jauh antara santri zaman sekarang dan zaman dahulu. Santri zaman sekarang memiliki corak dan bentuk yang beragam diantaranya memang keinginan diri sendiri untuk mempelajari ilmu di pondok, dorongan atau desakan keluarga bahkan disebabkan karena suatu masalah yang timbul dari lingkungan sekitarnya.
            Dengan berjalannya waktu semua bercampur baur menyatu, baik yang bersifat baik maupun sebaliknya. Semuanya mau tidak mau harus mengikuti pendidikan serta mentaati peraturan yang telah ditetapkan  dan dijalankan untuk kemashlahatan para santri yang siap berkorban dan mencurahkan seluruh tenaganya demi meraih apa yang telah dicita-citakan guna melangsungkan kehidupan yang beragam penuh cobaan.
            Santri yang dinamis, progresif dan ekspresif  selalu mencurahkan seluruh tenaganya dan rela berkorban untuk mendapatkan keluhuran dengan ilmu-ilmu yang didambakan, diperoleh serta diamalkan dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini sesuai dengan apa yang biasa kita dengar yaitu firman Allah SWT.: رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا : Ya Tuhanku semoga Engkau menambahkan ilmu kepadaku. Adalah petunjuk yang jelas tentang keutamaan ilmu karena Allah SWT. tidak memerintahkan Nabi-Nya untuk mencari suatu kelebihan melainkan ilmu.
Arti ilmu yaitu ilmu syar’i yang berfaedah pengetahuan sesuatu yang wajib bagi mukallaf, berupa perintah agama di dalam ibadah-ibadah dan muamalah-muamalahnya, mengetahui Allah dan sifat-sifatnya secara sempurna.
            Ilmu tersebut yang mengubah manusia dari kenistaan menuju keabadian. Permasalahannya bagaimana mendapatkan ilmu dengan sebaik mungkin?
Ada dua cara menjawab masalah itu yaitu:
1.      Mempelajari kitab-kitab terpercaya  yang dikarang oleh Ulama yang terkenal keilmuannya, amanahnya, dan selamat akidahnya dari bid’ah dan khurafat.
Cara ini mempunyai dua dampak:           
a). Lama waktunya, karena sesungguhnya manusia butuh waktu lama, perhatian mendalam,  bersungguh-sungguh dengan keras sehingga tercapai yang diinginkan. Dampak inilah terkadang orang-orang tidak mampu, apalagi melihat sekitarnya banyak yang menyia-nyiakan waktunya tanpa faedah.
b). Sesungguhnya orang yang mempelajari ilmu dari kandungan-kandungan kitab, ilmunya itu biasanya lemah, tidak didasari oleh kaidah-kaidah dan ushul-ushul. Oleh karena itu kita mendapati banyak kesalahan terhadap orang yang mempelajari ilmu dari kandungan-kandungan kitab dengan pemahaman sendiri yang pas-pasan.
2.   Mempelajari ilmu dari pendidik yang terpercaya ilmu dan agamanya, cara ini lebih cepat dan meyakinkan untuk mendapatkan ilmu. Karena di dalamnya terjadi proses pemahaman dan pemantapan ilmu melalui tanya jawab, mengunggulkan atau melemahkan perkataan-perkataan yang ada.
Metode-metode tersebut sebenarnya telah dipraktekan di pondok-pondok pesantren melalui sistem, strategi, dan solusi yang telah dibentuk dan diterapkan sedemikian rupa. Walaupun dalam kenyataannya sering mengalami problematika pondok pesantren mengenai proses belajar dan mengajar yang disebabkan kurangnya perhatian ilmu dan banyaknya kegiatan keilmuan baik dari pendidik maupun anak didiknya. Kelemahan tersebut dapat menimbulkan tidak majunya pendidikan pondok pesantren, sulitnya memahami materi-materi yang diajarkan bagi anak didik bahkan menumbuhkan rasa kebosanan, keengganan untuk memahami dan mendapatkan ilmu sampai pada puncaknya.
Oleh karena itu kesan yang tejadi antara kata pendidik dan pengajar jauh berbeda. Dari sini pendidik di tuntut mampu untuk membimbing dan mendidik anak didiknya guna kebaikan bersama. Seringkali pendidik mendapati kekurangannya ketika mengajar, begitu pula anak didik mendapatkan pelajaran yang diterima dari pendidik. Jadi keduanya disamping menjadi pelaku juga menjadi objek dilihat dari segi-segi tertentu.
Memang benar apa yang dikatakan Pepatah arab:
 ِلكُلِّ صَاِرمٍ نَبْوَةٌ وَلِكُلِّ جَوَادٍ كَََبْْوَةٌ وَلِكُلِّ عَالِمٍ هَفْوَةٌ
Artinya: bagi setiap pemotong itu ada melesetnya bagi setiap kuda balap ada tergelincirnya dan bagi orang alim ada kesalahannya. No One is perfect in the world, begitulah peribahasa yang sering kita dengar.
            Apabila kamu mengetahui bahwa kamu berada pada posisi yang benar didalam metode-metode dan pemikiran-pemikiranmu, maka kamu boleh berkata sesungguhnya metodeku benar atau lebih utama, tetapi tidak boleh berkata sesungguhnya yang benar adalah metodeku saja. Karena pandanganmu yang tidak puas dan pikiranmu yang lemah tidak bisa memutuskan dan tidak bisa dijadikan keputusan yang menyebabkan kepada menyalahkan metode-metode yang lainnya.
            Mencari ilmu adalah kewajiban kita sebagai santri, disamping itu juga harus memikirkan bersama untuk kemashlahatan, kemajuan dan harapan pondok pesantren kita yang tercinta dengan disertai kesadaran yang mendalam tidak menyalahkan satu sama lain, melakukan hak dan kewajiban yang dibebankan walaupun terasa berat untuk dilaksanakan. Semua ada batas dan ukurannya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh pembaharu islam dari Turki Syekh Said an-Nursi: “Sesungguhnya penguasa atas pengaturan urusan-urusan manusia yaitu: adakalanya akal atau penglihatan(bashor)….dengan kata lain, adakalanya pikiran atau indera-indera materi, adakalanya hak atau kekuatan, adakalanya kecenderungan-kecenderungan hati atau kecenderungan-kecenderungan akal, adakalanya hawa nafsu atau petunjuk.

Millieu (Lingkungan Pergaulan)
            Kata millieu biasa digunakan dalam ilmu pendidikan untuk menggambarkan lingkungan pergaulan didalam proses pendidikan.
            Asosiasi, sosialisasi, dan interaksi lingkungan sekitar kita memberi pengaruh kuat di dalam pembentukan jiwa manusia sehingga terbiasa untuk melakukan sesuatu yang telah tertangkap oleh indera manusia sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
            Di dalam realitanya santri mampu melakukan semua itu, apalagi didasari dengan pendidikan islam yang telah didapat dari pondok pesantren, sehingga mampu menumbuhkan benih-benih kecintaan terhadap alam sekitarnya, rasa solidaritas tinggi terhadap teman-temannya, memahami, mengerti dan menjalankan hak dan kewajiban. faktor-faktor ini menimbulkan perburuan-perburuan dan menaruh rasa penasaran yang dilakukan oleh muslim sendiri maupun non-muslim untuk mengetahui hakikat santri dari segi metode pendidikan, aktifas sehari-hari dan kekuatan islam yang selama ini sulit dipecah-belahkan.
            Dengan perbekalan-perbekalan yang didapat dari pondok pesantren, santri mampu menyeleksi dan mempertimbangkan antara mashlahat dan madharat. Tidak hanya mengandalkan akal saja yang terbatas, tetapi harus mewujudkan keseimbangan, keselarasan dan keserasian.
Memang benar apa yang dikatakan Abu Nawas di dalam salah satu kisahnya yaitu: “ Dunia itu tak terbatas dan akal itu terbatas maka sudah sepantasnya  yang terbatas tidak bisa mengukur yang tak terbatas”.
            Secara sadar maupun tidak, sebetulnya kita mengetahui semua itu, tetapi seringkali kita lalai dan ceroboh di dalam menjalankan kewajiban kita sebagai santri. Kita saling menyalahkan disebabkan kecemburuan sosial dan perbedaan strata. Permasalahan ini terus-menerus terngiang dan menggaung ditelinga kita, mengganjal di pikiran kita seakan-akan sulit dipecahkan bahkan menimbulkan salah asumsi, persepsi dan apersepsi. Mampukah kita mencari solusi sehingga mencapai kerukunan, keamanan, dan ketertiban bersama? Masalah bersama memang harus dipecahkan bersama.
Permasalahan selama ini adalah kita sering menyia-nyiakan waktu demi kegiatan-kegiatan atau pergaulan-pergaulan dilingkungan sekitar  yang tiada manfaatnya, sehingga menimbulkan  rasa penyesalan di akhir nanti. Orang Bijak berkata:
 اَلرِّضَي بِالضَّرَرِ لا يُنْظَرُ لَهُ
Artinya: Orang rela terhadap suatu bahaya itu tidak diperdulikan.
Maksudnya Apabila  kita rela malakukan sesuatu yang tidak berfaedah seperti menyia-nyiakan waktu belajar dengan obrolan tiada faedah, berlama-lama diwarung, dsb., maka jangan menyalahkan orang lain melainkan salahkan dirimu sendiri sehingga tidak diperdulikan dan menyesal  di kemudian hari. Demikian ini menunjukkan bahwa waktu bukanlah sekedar emas melainkan kehidupan yang hanya dimiliki sekali seumur hidup, maka renungkanlah!.
Disisi lain, pergaulan santri secara eksplisit mempengaruhi kepribadian santri, lebih-lebih di dalam memilih teman karena banyak sekali permaslahan yang ada di pondok dan luar pondok timbul dari pergaulan.
Di dalam syair dikatakan:
يُعْطِيْكَ مِنْ طَرَفِ اللِّسَانِِِِِ حَلاوَةً # وَيَرُوْغُ عَنْكَ كَمَا يَرُوْغُ الثَّعْلَبُ
Artinya: Dari ujung lidahnya dia memberimu sesuatu yang manis, tetapi sebenarnya dia menipumu layaknya seekor kancil.
Syair di atas mengingatkan kita untuk berhati hati didalam memilih teman.
            Pemahan kita tentang arti teman selama ini mungkin salah, sebab teman sebenarnya bukanlah yang terus menerus mau menuruti keinginan kita walaupun dia mengorbankan dirinya, tetapi teman sebenarnya adalah ilmu dan harta benda yang kita miliki (baca: bahaya teman).
            Demikian ini, penulis bukannya membatasi ruang lingkup pergaulan santri, melainkan memberi wacana dan alangkah baiknya pergaulan itu didasari dengan pengetahuan-pengetahuan pondok pesantren serta prinsip hidup yang baik dan kuat sehingga tidak terbawa arus kejelekan yang membawa kemurkaan. Semua itu tak lain untuk menjadikan santri yang hakiki dan menjaga nama baik pondok pesantren tercinta kita ini.
            Masyarakat kita akan menilai kita dari tingkah laku sehari-hari tanpa memandang dari sekolah atau pondok apa kita belajar. Yang kemudian akan di hubungkan dengan pondok kita dan nama baiknya, semua tergantung dari perlakuan kita sehari-hari sebagai wujud pencerminan pengetahuan-pengetahuan yang kita dapat dari pondok pesantren. Hal ini adalah bukti yang provabel apabila kita kembali ke lingkungan masyarakat kita, apalagi saya (penulis) sebagai santri abadi yang pernah mengalaminya semua.
خُذْ مَا صَفَا وَدَعْ مَا كَدَرَ
Artinya: ambillah yang jernih (baik) dan tinggalkanlah yang kotor (jelek).
By: Johaeri Dorduncu

Kontemplasi Santri, Wacana Arti "Sungguh"[1]


Perjalanan interaksi dengan lingkungan terus berlanjut dan saya merasakannya dengan begitu indah walaupun aral rintangan siap menghalangi kapan-pun dan dimana-pun seseorang berada. Perjalanan waktu terasa berjalan dengan begitu cepat, seakan segalanya hilang dan punah begitu saja ditelan masa tanpa bekas yang bisa dirasa membuatku berpikir dan terus berpikir dalam menyikapi makna arti hidup ini dan bagaimana berinteraksi dengan lingkungan sekitar menjadi lebih harmonis, romantis serta bisa dijadikan pedoman hidup dalam menghadapi badai kehidupan ini demi kelangsungan hidup dan kebahagiaan yang telah didambakan dunia dan akhirat.
            Benar apa yang dikatakan oleh Ulama    من جد و جد "barang siapa bersungguh-sungguh pastilah dapat", sebuah pepatah yang bisa diambil hikmahnya dalam merespon kehidupan dan tujuan hidup demi tercapainya segala apa yang diinginkan. Tetapi pada kenyataanya sering kita dapat disana-sini banyak sekali mengetahui pepatah itu tetapi mereka melaluinya begitu saja tanpa adanya kontemplasi dan intisari yang dapat diambil sehingga sia-sia saja segala sesuatu yang mereka lakukan, sebagai contohnya banyaknya orang yang membuang dan tidak menghormati waktu dengan melaksanakan pekerjaan yang tidak perlu, menyi-nyiakan  fungsi diri atau skill dan otak dalam berinteraksi dengan milieu, mencurahkan tenaga dan pikiran demi hal yang remeh dan tidak perlu untuk dilakukan. Semua itu tak lepas dari memahami dan mengerti apa arti hidup serta tujuan hidup itu sendiri.
Ketika di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, salah seorang pengurus senior pernah bertanya kepada orang tua yang pernah mengalami masa penjajahan Belanda, dia berkata, "pak, kenapa kok orang dulu itu sakti-sakti atau kalau berkata sesuatu itu banyak terjadinya?", orang tua itu menjawab, "orang tua dulu itu temen (sungguh) dalam melakukan sesuatu". Cerita ini mengingatkanku akan pentingnya arti sungguh itu dalam melakukan hal yang penting apalagi status saya sebagai mahasiswa al-Azhar Kairo Mesir yang dituntut memahami ilmu agama dan masyarakat tidak akan bertanya apa jurusanku dimesir, mereka hanya bisa berasumsi kalau lulusan Mesir maka ilmu agamanya mumpuni, jadi pertanyaannya apakah kita sudah bisa meraba diri kita masing-masing untuk melakukan sesuatu yang lebih penting dan sangat penting? Atau cuek begitu saja tanpa menghiraukan waktu yang ada dengan tenggelam dan terpengaruh millieu yang sangat berperan dalam kehidupan?. Itulah kehidupan, bagaimana kita sendiri memilah dan memilih mana yang baik, yang lebih baik dan yang terbaik. Sering juga kita cuma bisa mengoreksi kesalahan orang lain padahal kita sendiri masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi.
Problematika Mahasiswa Indonesia di Mesir (masisir) yaitu para mahasiswa terpengaruh dengan millieu, semua itu mau tidak mau memberi dampak baik dan buruk bagi mereka. Disini saya dan masisir lainnya dituntut untuk mandiri dan mampu menyikapi diri untuk mengatur segalanya guna mencapai tujuan atau keinginan bersama kelak, mencari wacana dan pengetahuan yang lebih dan bukan sekedar dalam teori saja, melainkan jauh dari itu yaitu aplikasi (manfaat) serta hikmah di balik semua apa yang dipelajari di al-Azhar. Para generasi bangsa terus terlena dengan dunia serta keasyikan yang semu yang bisa berubah menjadi kelabu dan menakutkan layaknya hantu. Sebagai bukti, banyak sekali para pelajar ataupun mahasiswa lebih asik dengan pacaran dan permainan yang tidak ada manfaatnya, mereka lebih mementingkan 'hewan peliharaan' (pacar) dari pada mata kuliah yang harus dipelajari di ruang kelas, buku-buku yang banyak hanya bisa dijadikan dekorasi rumah untuk memperlihatkan banyaknya kitab, padahal belum tentu keilmuannya bisa memadahi dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin bobrok ini, tenggelam dalam dunia cyborg dan internet yaitu mencari serta menggunakannya dengan tidak semestinya. Demikan itu potret singkat kehidupan para pelajar dimanapun berada. Kalau begitu dimanakah arti sungguh itu? Apakah yang dilakukan itu dalam artian sungguh? Atau itu benar-benar sungguh hanya dalam perkataan saja tanpa tahu menahu mana yang harus didahulukan?
Perkataan atau teori memang lebih mudah di ucapkan tetapi sulit dalam aplikasi dan pelaksanaan. Tak diduga setelah saya menginjak tahun ke empat ini saya merasa ilmu yang saya dapatkan tidaklah sebanding dengan waktu yang telah saya lewati, otomatis membuat saya harus berpikir dan kontemplasi bagaimana cara merespon kehidupan ini. Mau tidak mau dan saya tidak bisa berbuat apa-apa, semua itu hanya menimbulkan perasaan penyesalan yang mendalam, tetapi jangan begitu dipikirkan penyesalan itu tetapi bagaiman saya bisa merubah semua itu menjadi lebih baik dari yang lalu.
            Disela-sela waktu santaiku yaitu setelah membaca kitab Raudhah al-Thalibin karangan Imam Nawawi, saya keluar dari rumah untuk menghirup udara segar di malam hari setelah shalat isya di musim dingin. Tujuan saya keluar waktu itu adalah mengecek kaset handycam kepada temanku karena handycam saya di pinjamnya sehingga menuntutku untuk menuju kerumah temenku itu. Disana tanpa sengaja saya bertemuan teman lama yang sedang asyik duduk di depan televisi menonton pertandingan bola, tepatnya di rumah organisasi Mahasiswa-i Jawa Timur yang terkenal dengan sebutan GAMA JATIM. Pada pertemuan dengan temanku itu, kami sempat berbincang-bincang seputar manajemen waktu dan peralatan-peralatan yang dimiliki. Di situ terdapat empat orang yaitu saya, Yusuf, Faiz dan Faiq. Dengan santainya Faiq menyetrika baju dan kita bertiga berbincang-bincang mengenai fotografi dan handycam.
Faiz berkata bahwa manajemen, teori dan aplikasi itu perlu. Pertama kali belajar kita membutuhkan teori tetapi ketika teori kita udah matang dan bisa diaplikasikan serta sudah mumpuni dalam aplikasi tersebut maka teori bisa di abaikan. Tetapi dari sekian itu dan banyak orang yang belum memiliki yaitu mental, mental ini berperan untuk membentuk seseorang dalam mengontrol egois dia untuk mencapai sesuatu. Dia mencontohkan orang yang memasak makanan dan menghidangkannya yaitu ketika koki tersebut dihadapkan kepada opini-opini orang yang bermacam-macam seperti gak enak makanannya, sedang, lumayan, dst, maka akan menimbulkan gejala jiwa yang seketika itu harus diterima. Jadi dari gejala jiwa dengan kenyataan yang ada itulah akan mengontrol emosi, egois kita dalam melakukan sesuatu, apakah kita terus cemberut dan putus asa untuk melakukannya lagi? Atau merasa tertantang dan akan terus mencoba untuk menjadi yang terbaik? Kesungguhan disini akan terpatri dan teruji seberapa jauh kita memahami dengan sesuatu yang kita hadapi.
           Banyak sekali orang mempunyai kamera dan handycam, tetapi pemilik tersebut cuma bisa menggunakannnya hanya batas minimal saja seperti mengambil gambar dan mentransfernya ke computer atau cd dan dvd, tanpa menghiraukan bagaimana mempelajari seluk-beluk kamera atau handycam tersebut melalui teori dan aplikasinya sehingga bisa menghasilkan suatu gambar yang lebih bagus. Penjelajahan dengan menggunakan sifat penasaran untuk mengetahuinya yang berujung kepada kesungguhan menjadikan seseorang mampu untuk mengetahui barang-barang yang dimiliki dengan sedetail-detailnya bahkan bisa menghasilkan sumber mata pencaharian. Faiz berkata, " menyewa fotografer aja minimal itu seharga 1.200 dollar". Ini mengindikasikan akan pentingnya skill serta peralatan yang dimiliki dengan mempertimbangkan waktu dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya seperti acara, transportasi, millieu dll. 
Pada konversasi kali ini saya teringat perkataan ayah saya bahwa di dalam hidup itu dibutuhkan D3 yaitu doa, dengkul (usaha), duit. Tetapi disisi lain faiz menjawab kalau dalam berkarya atau profesi maka orang harus memiliki 3 mulai dari dasar sampai ke atas yaitu tenaga, pikiran/otak (akal), dan uang. Orang kalau bekerja dengan tenaga saja maka semua akan terkuras tenaganya dan yang dihasilkan belum tentu maksimal tanpa adanya skill yang mumpuni, sedangkan orang yang menggunakan akal saja tetapi tidak punya tenaga termasuk cuma membuat teori dan konsep saja maka semua itu hanya omong kosong belaka tanpa adanya aplikasi yang nyata dan punya otak atau segi pemikiran saja tanpa adanya skill juga percuma dan akan sia sia, begitu pula dengan uang maka akan terjadi penempatan orang yang tidak pada tempatnya menyebabkan tidak sesui pada koridor dan batas-batas yang telah ditetapkan menjadikan segala sesuatu yang dilakukan akan rusak dan hancur karena tidak mempunyai skill dan tenaga untuk menopang suksesnya suatu pekerjaan. Ketiga hal tersebut harus saling beriringan untuk mencapai tujuan demi kesuksesan yang di impikan, lanjutnya.
Oleh itu penggunaan waktu dan akal sebaik mungkin di tuntut untuk  di utamakan dalam berinteraksi dengan milieu, sehingga tidak mengandalkan begitu saja kepada secarik kertas atau ijazah tanpa di dasari dengan skill yang mumpuni untuk melakukan segala tugas yang dibebankan. Bukan pula karena keturunan yang bisa menyelamatkan kita dari kemiskinan, tetapi dengan pembekalan diri untuk menjawab problematika kehidupan ini yang menjadi sebuah kewajiban bersama yang harus diperjuangkan untuk kebahagiaan semua insan. Benar apa yang disabdakan oleh Nabi yang berarti beliau tidak mewariskan harta benda kepada umatnya, melainkan al-Quran dan Hadits sebagai sumber pedoman hidup. Dengan melihat halaman yang berwarna-i dari buku alam semesta ini membuat kita tahu bagaimana cara untuk hidup lebih terarah menuju kesuksesan. Tidak mengandalkan keturunan atau keluarga, menuntut kita sikap mandiri mencari inspirasi dan pola hidup sendiri sebagai mana yang tertuang dalam syair
   بجد لا بجد كل مجد # فهل جد بلا جد بمجد
Artinya: dengan kesungguhan bukan dengan keturunan keluhuran itu bisa di dapat # apakah keturunan tanpa kesungguhan bisa menghasilkan keluhuran?
Hal tersebut di perkuat dengan sabda nabi, "انا مدينة العلم وعلي بابها" yaitu sebuah hadits akan pentingnya ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
Dari saya dalam menyikapi hidup ini perlu adanya sistem, strategi dan solusi yaitu sebagai upaya merespon segala sesuatu dengan sebaik mungkin agar menjadi best of the best bukan "santri katrok" atau "kolot".




[1]  didedikasikan untuk santri dan alumni al-Ghozali dimanapun berada, khususnya dari Mesir seperti  Cak didik Suryadi,  Cak M. Salis Fitrowan Lc., Mahfud Ahmad, Cak M. Ainun Azam, Lc., Cak Abdulloh Munir, Lc. Mbak Alfiyah Sari, Lc dan Alumni di Maroko Cak Kusnadi. Ditulis oleh M. Johaeri Irhas, Lc. Alumni al-Ghozali 2006 yang membutuhkan dukungan dan doa pengasuh dan santri-santri al-Ghozali di manapun berada dan masih melanjutkan  program studi magister di al-Ma’had al-‘Ali li al-Dirasat al-Islamiyat, Zammalek, Mesir.